Subscribe

geography network feed RSS Feed

Readers

geography network readers

Sunday, September 6, 2009

Badai Matahari

Badai Matahari
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), fenomena yang dapat diprakirakan kemunculannya pada sekitar tahun 2011-2012 adalah Badai Matahari. Prediksi ini berdasarkan pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun 1960-an dan di Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975.


Badai matahari, sumber gambar http://pakarfisika.wordpress.com

Dijelaskan, Sri Kaloka, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, badai Matahari terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME). Flare adalah ledakan besar di atmosfer Matahari yang dayanya setara dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima. Adapun CME merupakan ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel berkecepatan 400 kilometer per detik.

Gangguan cuaca Matahari ini dapat memengaruhi kondisi muatan antariksa hingga memengaruhi magnet Bumi, selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, transportasi yang mengandalkan satelit navigasi global positioning system (GPS) dan sistem komunikasi yang menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi tinggi (HF), serta dapat membahayakan kehidupan atau kesehatan manusia.
Tahun 2011-2012 adalah puncak aktivitas matahari yang mempunyai periode sekitar 11 tahun, jadi puncak aktivitas matahari pernah terjadi pada 1979, 1989, dan 2000. Pada saat puncak aktivitas itu, bintik matahari meningkat jumlahnya akibat aktivitas magnetiknya dan mendadak berpengaruh terhadap ruang antar planet. Pada saat-saat itu frekuensi kejadian lontaran partikel berenergi tinggi dan emisi gelombang elektromagnetik berupa percikannya juga meningkat. Namun badai matahari merupakan bagian dari cuaca di antariksa yang mirip dengan cuaca di bumi, hanya saja sifatnya berbeda.

Badai matahari tidak berdampak langsung pada manusia, namun tetap berdampak pada benda-benda astronomi yang berada di sekitarnya. Gangguan yang perlu dicermati hanya pada sistem teknologi yang ditempatkan di antariksa seperti satelit komunikasi dan navigasi serta sistem teknologi di bumi yang rentan terhadap induksi partikel energetik dari matahari yang masuk ke bumi lewat kutub.

Bila terjadi badai matahari potensi bahaya hanyalah kemungkinan rusaknya atau terganggunya satelit yang mengakibatkan antara lain gangguan telepon, siaran TV yang memanfaatkan satelit, serta jaringan ATM. Selain itu, navigasi pada sistem penerima global positioning system (GPS) frekuensi tunggal dan siaran radio gelombang pendek juga bakal terganggu akibat adanya gangguan ionosfer, (Dengan kata lain jaringan komunikasi, seperti telepon, internet, SMS dll mengalami kiamat)



Perlu disadari bahwa selain mengalirkan energi bersih yang berlimpah bagi kehidupan di Bumi, Matahari juga memancarkan gangguan-gangguan ke ruang antarplanet di sekitarnya dalam bentuk badai antariksa. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat ini, munculnya sumber gangguan di Matahari tersebut sebagian dapat diperkirakan dengan teliti.

Untuk memprediksi munculnya badai antariksa, pemantauan Matahari selama 24 jam perlu dilakukan, baik melalui observatorium Matahari di muka Bumi maupun dengan satelit ilmiah dan pesawat angkasa tak berawak, seperti satelit seri GOES, Yohkoh, dan SOHO (Solar and Heliospheric Observatory). Kegiatan-kegiatan itu merupakan bagian dari kegiatan program internasional yang disebut cuaca antariksa (space weather).
Bila di Bumi dikenal suatu fenomena yang disebut Lubang Ozon, di Matahari sejak lama telah diketahui adanya fenomena yang disebut Lubang Korona (coronal hole). Korona adalah lapisan Matahari paling luar. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pemunculan lubang korona di ekuator Matahari ada kaitannya dengan peristiwa terjadinya badai antariksa.

Karena itulah, para peneliti fisika Matahari dan para praktisi dalam bidang cuaca antariksa mengupayakan fenomena pemunculan lubang korona dipantau secara terus-menerus. Salah satunya adalah dengan menempatkan pesawat SOHO di titik stabil pada garis hubung Matahari-Bumi sejauh 1,5 juta km dari Bumi.

Telah diketahui bahwa Matahari senantiasa meniupkan “angin Matahari” ke ruang antarplanet. Dalam keadaan normal, kecepatan angin Matahari berkisar 300-400 km/detik. Namun, pada 18 Februari 2003 pukul 08:00 UT (Universal Time) lalu, kecepatan angin Matahari di sekitar Bumi mendadak melonjak dari 640 km/detik hingga mendekati 1.000 km/detik dalam waktu singkat. Ini merupakan pertanda telah terjadi badai antariksa. Apakah sumber penyebab badai antariksa?
Ternyata, pada tanggal 13 Februari, suatu lubang korona di daerah ekuator sedang melintas di titik tengah Matahari.

Karena Matahari berotasi sebesar 14 derajat/hari, maka lubang korona itu mencapai “posisi efektif” sekitar 2-3 hari kemudian. Posisi efektif diartikan sebagai posisi yang mudah mengganggu lingkungan Bumi.

Pada posisi efektif ini, garis- garis medan magnet dari lubang korona menembus ruang antarplanet dan tepat terhubung dengan posisi Bumi. Garis-garis medan magnet berbentuk seperti spiral ini berperilaku bagaikan “jalan bebas hambatan”, sehingga materi dari lubang korona dapat dengan mudah mengalir ke arah Bumi.

Dari pengamatan diketahui bahwa lubang korona memancarkan materi ke ruang antarplanet dengan kerapatan rendah. Oleh medan magnet Matahari, materi ini terus-menerus diarahkan dan dipercepat sehingga kecepatannya pada posisi Bumi mencapai 1.000 km/detik. Suatu kecepatan yang luar biasa.

Telah diketahui bahwa jarak lurus Matahari-Bumi kurang lebih 150 juta km. Dengan memperhatikan kelengkungan lintasan materi dari lubang korona ke posisi Bumi dan kecepatan angin Matahari berubah dari 640 km/detik menjadi 1.000 km/detik, maka dapat diperkirakan materi dipancarkan dari lubang korona 2-3 hari sebelum badai antariksa.

Jadi dapat disimpulkan bahwa lubang korona ekuator adalah penyebab terjadinya badai antariksa pada 18 Februari, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan angin Matahari secara drastis sementara kerapatan materinya menurun. Lubang korona di kutub-kutub Matahari tidak mempengaruhi lingkungan Bumi.

Matahari berputar pada porosnya sekali dalam 27 hari. Sering kali bentuk korona secara global tidak banyak berubah dalam satu atau lebih rotasi Matahari. Dengan berpedoman pada perilaku ini, tidak sulit memprediksi pemunculan suatu lubang korona pada rotasi berikutnya.

Sumber:
google.com
artikelastronomi.blogspot.com
yogapw.wordpress.com
penapenjelajah.wordpress.com


Di susun oleh:
Revi Serviyani Dina Pertiwi
XG/28

Visitors